Kebahagiaan itu saat bisa
menyelipkan 2 jam di akhir minggu bersamanya, putriku. Adakah satuan waktu yang
lebih sebentar dari 1 sekon. Semuanya terasa begitu cepat. Aku baru mengenal
putriku saat usianya 2 tahun. Tidak kah sang waktu membiarkan waktu berjalan
lebih lambat untukku supaya dapat menghabiskan waktu lebih lama lagi dengan putriku.
Usianya kini beranjak 4 tahun, hari ini genap 2 tahun aku mengenalnya. Bermain
di taman setiap weekend adalah hal rutin yang tidak boleh dilewatkan.
Melihatnya berlarian di taman dengan riang, menciumi bunga-bunga dengan
wewangian yang khas, merupakan satu kerinduan yang tidak akan terobati bila
tidak ada hari ini. Usia emas dengan sejuta pertanyaan terkadang membuatku
takut. Banyak pertanyaan yang terkadang di luar dugaan, tapi untunglah dia
masih belum melontarkan pertanyaan seputar ketidaklengkapan keluarga dan
ketidakmiripan di antara kami. Kalimat-kalimat apa yang harus aku siapkan bila
pertanyaan itu muncul. Ah, sudahlah, menikmati setiap detik kebersamaan itu
yang lebih penting.
Putriku, ayo sini makan dulu
bekalnya.
Iya bu.
Jangan lupa cuci tangan dulu,
hahaha kami berbicara dengan kalimat senada dan sekata. Setiap minggu dalam 3
tahun ini sangat melekat di ingatan. Kami saling mengingat kata yang kami ucap.
Bu, aku ngga mau kembali ke
asrama.
Lho, kenapa? teman-teman kamu
nakal? Atau uang jajannya tidak cukup?
Bu, aku tinggal di asrama seperti
ngga punya ibu. Kenapa kita ngga tinggal bareng-bareng aja.
Ibu juga pengennya gitu nak, tapi
kan ibu harus kerja. Nanti kalo uang ibu sudah cukup, kita beli rumah buat tempat tinggal kita berdua.
Horeee...horeeee... Aku bisa
tinggal selamanya sama ibu.
Bu, toko tuh selalu menjual apa
yang kita butuh kan?
Iya, kamu butuh apa? Mau beli
makanan? Tas atau sepatu? Bukannya barang-barang kamu masih bagus-bagus?
Bu, ada toko yang ngejual ayah
ngga bu?
Bu, ko ibu diem aja Bu..
Bu, nanti kalo kita sudah punya
rumah, akan lebih lengkap lagi kalo kita punya ayah, Bu. Iya kan? Ibu tau toko
yang jual ayah?
Ibu ngga tahu. Sudah jam 4 kita
kembali ke asrama, nanti ibu asrama nunggu terlalu lama.
***
Ibu, pergi dulu, Filan. Jaga diri
baik-baik ya.
Saya pergi dulu Bu Asrama. Tolong
jaga Filan baik-baik.
Filan, salam sama ibu. Itu ibu
mau pergi.
Ngga mau, ibu jahat sama Filan.
Dadah Filan, ibu pergi dulu.
***
Aku
tahu ini akan terjadi, dia mulai menanyakan ketidalengkapan keluarga kami. Apa
yang harus aku lakukan. Ini keegoisanku. Sejak memutuskan untuk tidak menikah,
kenapa banyak yang tidak mengerti akan keputusan ini. Ditambah lagi dengan
mengadopsi Filan, semua mulai menjauh dariku. Keluargaku yang sangat
mendambakan keturunan dari pernikahanku, semua menjauh. Keputusanku untuk tidak
pernah menikah dalam hidupku, keputusan untuk mempunyai anak tanpa menikah, itu
menurut mereka salah besar. Aku menghentikan keturunan di generasi ini. Dan
sekarang putriku ingin memiliki keluarga yang lengkap. Ahh, apa yang harus ku
lakukan.
Entah
mulai kapan aku mempunyai pikiran-pikiran seperti ini. 6 tahun yang lalu, aku
masih duduk di tingkat dua bangku kuliah, aku masih memimpikkan menikah, kerja,
punya rumah dan 2 orang anak. Rasanya ini bagian dari lengkapnya hidup. Namun,
semuanya berbalik menyerang, mimpi indah itu menjadi sebuah ketakutan tersendiri.
Apakah penyakit jenis ini ada di kamus kedokteran ataupun psikologi? kalaupun ada, tolong
selamatkan aku, aku ingin sembuh. Ingin rasanya menyalahkan orang-orang yang
pernah aku kenal sebagai akar dari ketakutan ini. Satu persatu, aku
mengingatnya, orang-orang yang pernah ada dalam hidupku. Ya, aku masih
mengingatnya. Sepertinya aku tahu.
Mba, ini ada telepon dari
asrama.
Oh iya, makasih, sambungkan ke sini ya.
Halo, Bu asrama, ada apa dengan Filan?
Bu, Filan pergi dari asrama.
Filan,
putriku Filan. Kemana dia. Aku bergegas mencari putri kesayanganku. Aku
menyusuri setiap jalanan kantor-asrama untuk mencari Filan. Kalau tidak salah,
Filan pernah tau letak kantorku. Aku tahu dia anak yang cerdas, dia mudah
mengingat suatu tempat. Aku menyusuri jalanan ini, barangkali Filan menuju ke
kantorku dan berharap aku menemukannya di sepanjang jalan ini. Saat berlari
dengan cemas aku berhenti di depan sebuah toko bertuliskan toko “Ayah”. Aku mendengar
ada bapa setengah baya mengatakan anak gila anak gila. Entah kenapa, aku yakin
putri kecilku ada di sekitar sini. Dan ternyata, anak gila itu putriku. Apapun
yang bapa itu katakan aku tidak peduli, yang terpenting Filan sudah ada di
pelukanku. Filan menangis ketakutan. Aku mencoba menenangkannya. Filan,
putriku. Aku tidak mau kehilangan orang yang aku sayangi lagi.
Bu, jaga anakmu ini. Masa dia bilang aku jual ayahnya di sini.
Aku udah bilang ini tokok khusus perlengkapan ayah, bukan
toko yang menjual ayah. Macam mana pula anak kau ini.
Iya pa, maaf, maaf.
Mendengar
bapa dengan logat batak tadi, aku bergetar, takut. Pantas saja Filan ketakutan
dengan suara bapa yang begitu lantang itu.
Sejak
kejadian itu, aku tidak membiarkan Filan tinggal di asrama. Aku pindah ke luar
kota dan membeli sebuah rumah kecil di sana.
Aku tinggal bersama Filan. Kejadian di toko Ayah itu membuat Filan tidak ingin
lagi mengungkit kehadiran ayah yang sangat dia inginkan. Filan selalu pamer
pada teman-teman di sekolah barunya, ibuku ya ibuku, ayahku ya ibuku. Dia
selalu bilang ibuku wanita yang kuat.
Sampai suatu saat nanti aku bisa
menghilangkan perasaan ini, Filan bisa mengandeng tidak hanya dengan satu
tangan, dia bisa menggandengkan sebelah tangannya pada sosok yang dia inginkan,
ayah. Dan ketidaklengkapan kita tidak lagi akan menjadi pertanyaan.
Tapi
bagaimana menceritakan ketidakmiripan antara aku dan Filan?
0 comments:
Post a Comment