Monday, April 1, 2013

Androphobia part 1

Kebahagiaan itu saat bisa menyelipkan 2 jam di akhir minggu bersamanya, putriku. Adakah satuan waktu yang lebih sebentar dari 1 sekon. Semuanya terasa begitu cepat. Aku baru mengenal putriku saat usianya 2 tahun. Tidak kah sang waktu membiarkan waktu berjalan lebih lambat untukku supaya dapat menghabiskan waktu lebih lama lagi dengan putriku. Usianya kini beranjak 4 tahun, hari ini genap 2 tahun aku mengenalnya. Bermain di taman setiap weekend adalah hal rutin yang tidak boleh dilewatkan. Melihatnya berlarian di taman dengan riang, menciumi bunga-bunga dengan wewangian yang khas, merupakan satu kerinduan yang tidak akan terobati bila tidak ada hari ini. Usia emas dengan sejuta pertanyaan terkadang membuatku takut. Banyak pertanyaan yang terkadang di luar dugaan, tapi untunglah dia masih belum melontarkan pertanyaan seputar ketidaklengkapan keluarga dan ketidakmiripan di antara kami. Kalimat-kalimat apa yang harus aku siapkan bila pertanyaan itu muncul. Ah, sudahlah, menikmati setiap detik kebersamaan itu yang lebih penting.
Putriku, ayo sini makan dulu bekalnya.
Iya bu.
Jangan lupa cuci tangan dulu, hahaha kami berbicara dengan kalimat senada dan sekata. Setiap minggu dalam 3 tahun ini sangat melekat di ingatan. Kami saling mengingat kata yang kami ucap.
Bu, aku ngga mau kembali ke asrama.
Lho, kenapa? teman-teman kamu nakal? Atau uang jajannya tidak cukup?
Bu, aku tinggal di asrama seperti ngga punya ibu. Kenapa kita ngga tinggal bareng-bareng aja.
Ibu juga pengennya gitu nak, tapi kan ibu harus kerja. Nanti kalo uang ibu sudah cukup, kita beli rumah buat tempat tinggal kita berdua.
Horeee...horeeee... Aku bisa tinggal selamanya sama ibu.
Bu, toko tuh selalu menjual apa yang kita butuh kan?
Iya, kamu butuh apa? Mau beli makanan? Tas atau sepatu? Bukannya barang-barang kamu masih bagus-bagus?
Bu, ada toko yang ngejual ayah ngga bu? 
Bu, ko ibu diem aja Bu..
Bu, nanti kalo kita sudah punya rumah, akan lebih lengkap lagi kalo kita punya ayah, Bu. Iya kan? Ibu tau toko yang jual ayah?
Ibu ngga tahu. Sudah jam 4 kita kembali ke asrama, nanti ibu asrama nunggu terlalu lama.

***

Ibu, pergi dulu, Filan. Jaga diri baik-baik ya.
Saya pergi dulu Bu Asrama. Tolong jaga Filan baik-baik.
Filan, salam sama ibu. Itu ibu mau pergi.
Ngga mau, ibu jahat sama Filan.
Dadah Filan, ibu pergi dulu.

***

Aku tahu ini akan terjadi, dia mulai menanyakan ketidalengkapan keluarga kami. Apa yang harus aku lakukan. Ini keegoisanku. Sejak memutuskan untuk tidak menikah, kenapa banyak yang tidak mengerti akan keputusan ini. Ditambah lagi dengan mengadopsi Filan, semua mulai menjauh dariku. Keluargaku yang sangat mendambakan keturunan dari pernikahanku, semua menjauh. Keputusanku untuk tidak pernah menikah dalam hidupku, keputusan untuk mempunyai anak tanpa menikah, itu menurut mereka salah besar. Aku menghentikan keturunan di generasi ini. Dan sekarang putriku ingin memiliki keluarga yang lengkap. Ahh, apa yang harus ku lakukan.
Entah mulai kapan aku mempunyai pikiran-pikiran seperti ini. 6 tahun yang lalu, aku masih duduk di tingkat dua bangku kuliah, aku masih memimpikkan menikah, kerja, punya rumah dan 2 orang anak. Rasanya ini bagian dari lengkapnya hidup. Namun, semuanya berbalik menyerang, mimpi indah itu menjadi sebuah ketakutan tersendiri. Apakah penyakit jenis ini ada di kamus kedokteran ataupun psikologi? kalaupun ada, tolong selamatkan aku, aku ingin sembuh. Ingin rasanya menyalahkan orang-orang yang pernah aku kenal sebagai akar dari ketakutan ini. Satu persatu, aku mengingatnya, orang-orang yang pernah ada dalam hidupku. Ya, aku masih mengingatnya. Sepertinya aku tahu.
     Mba, ini ada telepon dari asrama.
Oh iya, makasih, sambungkan ke sini ya.
Halo, Bu asrama, ada apa dengan Filan?
Bu, Filan pergi dari asrama.
Filan, putriku Filan. Kemana dia. Aku bergegas mencari putri kesayanganku. Aku menyusuri setiap jalanan kantor-asrama untuk mencari Filan. Kalau tidak salah, Filan pernah tau letak kantorku. Aku tahu dia anak yang cerdas, dia mudah mengingat suatu tempat. Aku menyusuri jalanan ini, barangkali Filan menuju ke kantorku dan berharap aku menemukannya di sepanjang jalan ini. Saat berlari dengan cemas aku berhenti di depan sebuah toko bertuliskan toko “Ayah”. Aku mendengar ada bapa setengah baya mengatakan anak gila anak gila. Entah kenapa, aku yakin putri kecilku ada di sekitar sini. Dan ternyata, anak gila itu putriku. Apapun yang bapa itu katakan aku tidak peduli, yang terpenting Filan sudah ada di pelukanku. Filan menangis ketakutan. Aku mencoba menenangkannya. Filan, putriku. Aku tidak mau kehilangan orang yang aku sayangi lagi.
Bu, jaga anakmu ini. Masa dia bilang aku jual ayahnya di sini.
Aku udah bilang ini tokok khusus perlengkapan ayah, bukan toko yang menjual ayah. Macam mana pula anak kau ini.
Iya pa, maaf, maaf.
Mendengar bapa dengan logat batak tadi, aku bergetar, takut. Pantas saja Filan ketakutan dengan suara bapa yang begitu lantang itu.
Sejak kejadian itu, aku tidak membiarkan Filan tinggal di asrama. Aku pindah ke luar kota dan membeli sebuah rumah kecil di  sana. Aku tinggal bersama Filan. Kejadian di toko Ayah itu membuat Filan tidak ingin lagi mengungkit kehadiran ayah yang sangat dia inginkan. Filan selalu pamer pada teman-teman di sekolah barunya, ibuku ya ibuku, ayahku ya ibuku. Dia selalu bilang ibuku wanita yang kuat. 
Sampai suatu saat nanti aku bisa menghilangkan perasaan ini, Filan bisa mengandeng tidak hanya dengan satu tangan, dia bisa menggandengkan sebelah tangannya pada sosok yang dia inginkan, ayah. Dan ketidaklengkapan kita tidak lagi akan menjadi pertanyaan. 
Tapi bagaimana menceritakan ketidakmiripan antara aku dan Filan?

0 comments:

 
Powered by Blogger.