Thursday, December 13, 2012

my real competition




“Semangat tandingnya, xxxxxxx”

Begitu, isi pesan singkat darimu.

Masih selalu ingat, 9 Mei 2012.

Senang, pada awalnya.

Aneh, pada akhirnya.

Bukan.

Bukan aku.

Bukan aku yg dia maksud.

SMS masuk ke inbox HP-ku tapi sepertinya bukan ditujukan ke inbox HP-ku.

Pikirku, “ya, ini yg namanya salah kirim”

Siapa dia?

Sepertinya dia orang yg sedang melakukan kegiatan sama denganku.

Sempat menerka beberapa nama.

Apa perlu menyalahkan jari-jari yang salah saat mengetik SMS?

Tidak, sepertinya.

Ejaan keypad hapemu, aku tau.

Berjenis qwerty.

Namaku dan namanya jelas tidak berdekatan di keypad hapemu.

Ah, buat apa aku tahu.

Tidak ada alasan buatku untuk mengatahui urusanmu karena itu urusanmu dan dia.

Aku sudah bilang, mundur.

Berarti ke-9, yah benar dia perempuan ke-9 di daftar ingatanku.

Cukup, jangan tambahkan lagi nama perempuan di daftar ingatanku.

Itu sangat mengganggu, asal kamu tahu.

Ramainya suasana pertandingan menyapu pikiran tentangmu.

Bergegas aku masukkan HP ke saku kecil tasku.

Anggap saja tadi hanya iklan.

Energiku untuk melanjutkan pertandingan, bukan untuk memikirkan yg lain.

Basket, itu fokusku sekarang.

Pertandingan final dimulai tapi lagi-lagi pikiran ini tidak fokus.

Ah, tolong katakan pada bola, “Bola, mari bersahabat”.

Ini bola timku, jangan biarkan lawan merebutnya.

Drible, mengumpan, menerima, shoot bola, lay-up di bawah terik matahari itu rasanya sangat melelahkan.

Sesekali peluh bercucuran dari balik angka 9 bagian belakang kaos merah hitamku.

Lelah tapi aku menyukainya.

Itu bisa sedikit meluapkan.

Itulah kenapa aku suka.

Belajar melawan rintangan di arah manapun.

Lihat, aku bisa, aku tidak kalah dengan perasaan takut.

Peluit berbunyi tanda pertandingan berakhir,.

Pertandingan basketnya saja yang berakhir.

Ah, sayang pertandingan “lain”ku masih terus bermain.

9 poin dariku diakumulasi dengan poin kawan-kawanku ternyata menghasilkan poin yang lebih banyak dari lawan.

Point timku lebih unggul dari lawan.

Ini yang dinamakan menang.

Iya, menang.

Usaha keras itu tak akan mengkhianati, itu kalimat dalam lagu sebuah girlband.

Pendukung timku bersorak, bangga, haru.

Serasa diiringi lagu queen, “we are the the champion”.

Ku amati satu persatu kursi penonton.

Tapi aku tidak mendapati kamu di sana.

Kenapa pikiran ini mengarah kesana lagi.

Moment-moment berangkulan dengan tim kawan, bersalaman dengan tim lawan dan wasit pun aku lupa.

Mulai tersadar oleh gadis berambut panjang bersama ibu separuh baya yang tiba-tiba ada di hadapanku untuk menyalamiku.

Gadis itu memiliki tatapan kosong.

Sempat kuduga dia tidak bisa melihat.

Tapi aku tidak boleh menduga sejauh itu.

Dan dugaanku benar, dia buta.

Tapi aku mencoba bersikap biasa.

Perkenalan pun dilakukan.

Namanya Unik, seunik orangnya yang selalu menatap masa depan dengan terang dibalik penglihatannya yang gelap.

Itu karakter yang aku dapat setelah mendengar cerita-ceritanya.

Obrolan singkat tapi berarti.

Masih tertegun dengan ucapan-ucapan gadis tadi.

Huruf-huruf A-Z bertumbukan di pikiran ini.

Sejenak amnesia, lupa menyusun kata-kata.

Berlalunya gadis dan ibunya pun aku tidak sadar.

Tuhan, gadis ini seperti surat dari-Mu.

Pantulan cahaya yang masuk ke mataku membutaku bisa melihat dengan jelas, terang, tetapi kenapa aku selalu melihat sisi gelapnya saja, membuat terang menjadi gelap, membuat gelap menjadi semakin gelap.

Terimakasih, Tuhan.

Aku harus memenangkan pertandingan “lain” yang sebenarnya.

Soraki aku dengan kata-kata penyemangat.

9-1 huruf saja, ”SEMANGAT”

Aku butuh kalian.

sempurna

Elusan lembut tanganmu, seperti baru terasa kemarin.
Ucapan bijak nasihatmu, seperti baru terdengar kemarin.
Semuanya hanya untukku.
Hanya sebentar.
4 tahun.
Tiba saatnya semua itu harus terbagi dua.
 Untuk aku dan dia.
Tanpa perlu neraca untuk menakarnya, semuanya sudah seimbang.
Itulah dahsyatnya kalian.
Sejak itu, semuanya terasa lengkap.
Aku, kamu, kamu, dia, dan Dia itu yang disebut SEMPURNA.
Jangan biarkan tamu memasuki rumah kita.
Jangan biarkan tamu menjemputku dari rumah kita.
Jangan sekarang.
Aku masih ingin merasakan kesempurnaan ini.
Aku takut terlalu bahagia dengan penghuni2 rumah baruku nanti.
Aku takut tidak berada dekat kalian saat kalian pergi.
Tiba saatnya aku pergi, Dia yang akan selalu menjaga kalian.
Tiba saatnya aku pergi, dia dan Dia yang akan menjagaku.

 -my beloved family-
 
Powered by Blogger.